Senin, 28 April 2014

HUKUM PERJANJIAN (BAB 5)

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
HUKUM PERJANJIAN



Nama   : Lenny Kurniasih
Npm:24212178
Kelas:2eb24


FAKULTAS EKONOMI,S1 AKUNTANSI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014




KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang senantiasa melimpahkan taufik dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyusun makalah ini untuk memenuhi dan melengkapi tugas mata kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi. Dalam makalah ini dibahas tentang Hukum Perjanjian.
Selanjutnya diucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berdaya guna dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam kompetensi mahasiswa. Dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.
 
 
 
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam setiap kedudukan kehidupan perekonomian yang sangat dbutuhkan oleh setiap Negara, baik Negara-negara maju dan Negara-negara berkembang seperti Negara Indonesia yang  menginginkan kelancaran jalannya proses perekonomian. Sehingga membutuhkan ketaatan-ketaatan dalam setiap proses ekonomi. Dengan adanya aspek hukum dalam ekonomi yang mengatur setiap jalannya ekonomi, akan memperlancar dan mengatur perekonomian dengan aturan-aturan yang telah ditentukan dan dibuat secara kesepakatan.Banyak orang yang belum mengetahui tentang ”Hukum perjanjian”.Didalam aspek hukum dalam ekonomi terdapat ”HUKUM PERJANJIAN”.

            Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik dikedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain..  Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Ketentua pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan.
Kelemahan- kelemahan itu adalah seperti diuraikan di bawah ini:
Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan, “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
  1. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
  2. Pengertian perjanjian terlalu luas
  3. Tanpa menyebut tujuan
  4. Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan
  5. Ada syarat- syarat tertentu sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan di bawah ini:
    • syarat ada persetuuan kehendak
    • syarat kecakapan pihak- pihak
    • ada hal tertentu
    • ada kausa yang halal

                                               BAB II
                                   RUMUSAN MASALAH

Di dalam makalah ini akan membahas mengenai hukum perjanjian antara lain meliputi persoalan:
1.      Standar Kontrak
2.      Macam-macam Perjanjian
3.      Syarat Sahnya Perjanjian
4.      Saat Lahirnya Perjanjian
5.      Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian



BAB III
PEMBAHASAN

1.      Standar Kontrak

Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus sperti penjelasan dibawah ini:
    1. Kontrak standar umum artinya, kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur
    2. Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah
  1. Menurut Remi Syahdeini, menyatakan bahwa keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan karena kontrak baru eksistensinya sudah merupakan kenyataan. Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat (society nuds). Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak baru yang masih dipersoalkan.
Suatu kontrak harus berisi:
  1. Nama dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak
  2. Subjek dan jangka waktu kontrak
  3. Lingkup kontrak
  4. Dasar-dasar pelaksanaan kontrak
  5. Kewajiban dan tanggung jawab
  6. Pembatalan kontrak
2. Macam – Macam Hukum Perjanjian Internasional
Perjanjian  internasional pada hakekatnya merupakan suatu tujuan atau agreement. Bentuk perjanjian internasional yang dilakuka antarbangsa maupun antarorganisasi internasional ini tidak harus berbentuk tertulis. Dalam perjanjian internasional ini ada hukum yang mengatur perjanjian tersebut. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek. Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum internasional, terutama negara dan organisasi internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek hukum internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

a.       Perjanjian Internasional Bilateral
Perjanjian Internasional yang jumlah peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalamnya terdiri atas dua subjek hukum internasional saja (negara dan / atau organisasi internasional, dsb). Kaidah hukum yang lahir dari perjanjian bilateral bersifat khusus dan bercorak perjanjian tertutup (closed treaty), artinya kedua pihak harus tunduk secara penuh atau secara keseluruhan terhadap semua isi atau pasal dari perjanjian tersebut atau sama sekali tidak mau tunduk sehingga perjanjian tersebut tidak akan pernah mengikat dan berlaku sebagai hukum positif, serta melahirkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku hanyalah bagi kedua pihak yang bersangkutan. Pihak ketiga, walaupun mempunyai kepentingan yang sama baik terhadap kedua pihak atau terhadap salah satu pihak, tidak bisa masuk atau ikut menjadi pihak ke dalam perjanjian tersebut.
b.      Perjanjian Internasional Multilateral
Perjanjian Internasional yang peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalam perjanjian itu lebih dari dua subjek hukum internasional. Sifat kaidah hukum yang dilahirkan perjanjian multilateral bisa bersifat khusus dan ada pula yang bersifat umum, bergantung pada corak perjanjian multilateral itu sendiri. Corak perjanjian multilateral yang bersifat khusus adalah tertutup, mengatur hal-hal yang berkenaan dengan masalah yang khusus menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan atau yang terikat dalam perjanjian tersebut. Maka dari segi sifatnya yang khusus tersebut, perjanjian multilateral sesungguhnya sama dengan perjanjian bilateral, yang membedakan hanya dari segi jumlah pesertanya semata. Sedangkan perjanjian multilateral yang bersifat umum, memiliki corak terbuka. Maksudnya, isi atau pokok masalah yang diatur dalam perjanjian itu tidak saja bersangkut-paut dengan kepentingan para pihak atau subjek hukum internasional yang ikut serta dalam merumuskan naskah perjanjian tersebut, tetapi juga kepentingan dari pihak lain atau pihak ketiga. Dalam konteks negara, pihak lain atau pihak ketiga ini mungkin bisa menyangkut seluruh negara di dunia, bisa sebagian negara, bahkan bisa jadi hanya beberapa negara saja. Dalam kenyatannya, perjanjian-perjanjian multilateral semacam itu memang membuka diri bagi pihak ketiga untuk ikut serta sebagai pihak di dalam perjanjian tersebut. Oleh karenanya, perjanjian multilateral yang terbuka ini cenderung berkembang menjadi kaidah hukum internasional yang berlaku secara umum atau universal.

3.      Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
  1. Sepakat untuk mengikatkan diri
Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
  1. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
  1. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
  1. Sebab yang halal
Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum.
Dua syarat yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat- syarat subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.




4 . Lahir dan Hapusnya Suatu Perjanjian
A.    Perikatan-prikatan yang lahir dari perjanjian
Untuk suatu perjanjian yang harus terpenuhi empat syarat yaitu:
1.      Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan dirinya
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3.      Suatu hal tertentu yang diperjanjiakan
4.      Suatu sebab(oorzaak) yang halal, artinya yang tidak terlarang(pasal:1320).
Selanjutnya undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu oorzaak(“caosa”)yang diperbolehakan. Secara leterlijk kata oorzaak atau caosa berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya, yang dimaksudkan dengan kata itu ialah tujuan yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Misalnya, dalam suatu perjanjian jual beli: satu pihak akan menerima sejumlah uang tunai dan pihak lain akan menerima bunga(rente). Dengan kata lain caosa berati: isi perjanjian itu sendiri.
Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercaiannya suatu kesepakatan antara kedua belah pihak. Orang yang hendak membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediannya untuk meningkatkan dirinya. Pernyataan kedua belah pihak bertemu dan sepakat misalnya dengan memasang harga pada barang ditoko, orang yang mempunyai toko itu dianggap telah menyatakan kehendaknya untuk menjual barang-barang itu. Apabila ada sesuatu yang masuk ketoko tersebuit dan menunjuk suatu barang serta membayar harganya dapat dianggap telah lahir suatu perjanjian jual beli yang meletakkan kewajiban pada pemilik toko untuk menyerahkan baran-barang itu

5. Pembatalan dan Pelaksanaan Perjanjian
Pembatalan perjanjian
Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur. Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
·         Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
·         Harus ada wanprestasi (breach of contract)
·         Harus dengan putusan hakim (verdict)
Pelaksanaan Perjanjian
Yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.


                                                                    Kesimpulan

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang atau satu pihak berjanji pada seorang/pihak lain, dan dimana dua orang/dua pihak ituv saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (pasal 1313 KUHPer). Sedangkan perikatan adalah suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak kepada salah satu untuk menuntutr barang sesuatu darin yang lainnya, sedangkan opihak lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itun melibatkan perikatan. Di dalam pasal 1320 KUHPer B.W untuk syahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.      Sepakat mereka yang mengakibatkan dirinya
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal



DAFTAR PUSTAKA
  • http:// www.geogle.co.id/ ttgf: sistem terbuka dan asas konsensualitas dalam hukum perjanjian.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar