Etika dalam Auditing
Nama :Lenny kurniasih
Kelas :4 EB24
Npm :24212178
Kelas :4 EB24
Npm :24212178
1.
Kepercayaan Publik
Etika dalam auditing adalah suatu prinsip untuk
melakukan proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi
yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi untuk menentukan dan
melaporkan kesesuaian informasi yang dimaksud dengan kriteria-kriteria yang
dimaksud yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen.
Profesi akuntan memegang peranan yang penting
dimasyarakat, sehingga menimbulkan ketergantungan dalam hal tanggung-jawab akuntan
terhadap kepentingan publik. Kepentingan Publik merupakan kepentingan masyarkat
dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini
menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya
mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
2.
Tanggung Jawab Auditor kepada Publik
Profesi
akuntan di dalam masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam
memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib dengan menilai kewajaran
dari laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan. Ketergantungan
antara akuntan dengan publik menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap
kepentingan publik. Dalam kode etik diungkapkan, akuntan tidak hanya memiliki
tanggung jawab terhadap klien yang membayarnya saja, akan tetapi memiliki
tanggung jawab juga terhadap publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai
kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani secara keseluruhan. Publik
akan mengharapkan akuntan untuk memenuhi tanggung jawabnya dengan integritas,
obyektifitas, keseksamaan profesionalisme, dan kepentingan untuk melayani
publik. Para akuntan diharapkan memberikan jasa yang berkualitas, mengenakan
jasa imbalan yang pantas, serta menawarkan berbagai jasa dengan tingkat
profesionalisme yang tinggi. Atas kepercayaan publik yang diberikan inilah
seorang akuntan harus secara terus-menerus menunjukkan dedikasinya untuk
mencapai profesionalisme yang tinggi.
Justice Buger mengungkapkan
bahwa akuntan publik yang independen dalam memberikan laporan penilaian
mengenai laporan keuangan perusahaan memandang bahwa tanggung jawab kepada
publik itu melampaui hubungan antara auditor dengan kliennya. Akuntan publik
yang independen memiliki fungsi yang berbeda, tidak hanya patuh terhadap para
kreditur dan pemegang saham saja, akan tetapi berfungsi sebagai ”a public watchdog function”.
Dalam menjalankan fungsi tersebut seorang akuntan harus mempertahankan
independensinya secara keseluruhan di setiap waktu dan memenuhi kesetiaan
terhadap kepentingan publik. Hal ini membuat konflik kepentingan antara klien
dan publik mengenai konfil loyalitas auditor.
3.
Tanggung Jawab Dasar Auditor
The Auditing Practice Committee, yang merupakan cikal
bakal dari Auditing Practices Board, ditahun 1980, memberikan ringkasan
(summary) tanggung jawab auditor:
- Perencanaan, Pengendalian dan Pencatatan. Auditor perlu merencanakan, mengendalikan dan mencatat pekerjannya.
- Sistem Akuntansi. Auditor harus mengetahui dengan pasti sistem pencatatan dan pemrosesan transaksi dan menilai kecukupannya sebagai dasar penyusunan laporan keuangan.
- Bukti Audit. Auditor akan memperoleh bukti audit yang relevan dan reliable untuk memberikan kesimpulan rasional.
- Pengendalian Intern. Bila auditor berharap untuk menempatkan kepercayaan pada pengendalian internal, hendaknya memastikan dan mengevaluasi pengendalian itu dan melakukan compliance test.
- Meninjau Ulang Laporan Keuangan yang Relevan. Auditor melaksanakan tinjau ulang laporan keuangan yang relevan seperlunya, dalam hubungannya dengan kesimpulan yang diambil berdasarkan bukti audit lain yang didapat, dan untuk memberi dasar rasional atas pendapat mengenai laporan keuangan.
4.
Independensi Auditor
Independensi adalah keadaan bebas dari pengaruh, tidak
dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain (Mulyadi dan
Puradireja, 2002: 26). Dalam SPAP (IAI, 2001: 220.1) auditor diharuskan
bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan
pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan di dalam hal ia berpraktik
sebagai auditor intern).
Terdapat tiga aspek independensi seorang auditor,
yaitu sebagai berikut :
- Independence in fact (independensi dalam fakta). Artinya auditor harus mempunyai kejujuran yang tinggi, keterkaitan yang erat dengan objektivitas.
- Independence in appearance (independensi dalam penampilan). Artinya pandangan pihak lain terhadap diri auditor sehubungan dengan pelaksanaan audit.
- Independence in competence (independensi dari sudut keahliannya). Independensi dari sudut pandang keahlian terkait erat dengan kecakapan profesional auditor.
5.
Peraturan Pasar Modal dan Regulator mengenai Independensi Akuntan Publik
Tujuan audit
atas laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah untuk
menyatakan pendapat tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi
keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Laporan auditor merupakan sarana bagi
auditor untuk menyatakan pendapatnya, atau apabila keadaan mengharuskan, untuk
menyatakan tidak memberikan pendapat. Baik dalam hal auditor menyatakan
pendapat maupun menyatakan tidak memberikan pendapat, ia harus menyatakan
apakah auditnya telah dilaksanakan berdasarkan standar auditing yang
ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia.
Standar
auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia mengharuskan auditor
menyatakan apakah, menurut pendapatnya, laporan keuangan disajikan sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia dan jika ada,
menunjukkan adanya ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam
penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan
prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.
Contoh Kasus :
Manipulasi
Laporan Keuangan PT KAI
Transparansi
serta kejujuran dalam pengelolaan lembaga yang merupakan salah satu derivasi
amanah reformasi ternyata belum sepenuhnya dilaksanakan oleh salah satu badan
usaha milik negara, yakni PT Kereta Api Indonesia. Dalam laporan kinerja
keuangan tahunan yang diterbitkannya pada tahun 2005, ia mengumumkan bahwa
keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar telah diraihnya. Padahal, apabila dicermati,
sebenarnya ia harus dinyatakan menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar.
Kerugian
ini terjadi karena PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih
pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga
dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan,
ia tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan
demikian, kekeliruan dalam pencatatan transaksi atau perubahan keuangan telah
terjadi di sini.
Di
lain pihak, PT Kereta Api Indonesia memandang bahwa kekeliruan pencatatan
tersebut hanya terjadi karena perbedaan persepsi mengenai pencatatan piutang
yang tidak tertagih. Terdapat pihak yang menilai bahwa piutang pada pihak
ketiga yang tidak tertagih itu bukan pendapatan. Sehingga, sebagai
konsekuensinya PT Kereta Api Indonesia seharusnya mengakui menderita kerugian
sebesar Rp. 63 milyar. Sebaliknya, ada pula pihak lain yang berpendapat bahwa piutang
yang tidak tertagih tetap dapat dimasukkan sebagai pendapatan PT Kereta Api
Indonesia sehingga keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar dapat diraih pada tahun
tersebut. Diduga, manipulasi laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia telah
terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, akumulasi permasalahan terjadi
disini.
Komentar:
PT
KAI sebagai suatu lembaga memang memiliki kewenangan untuk menyusun laporan
keuangannya dan memilih auditor eksternal untuk melakukan proses audit terhadap
laporan keuangan tersebut. Tetapi, PT KAI tidak boleh mengabaikan dimensi
organisasional penyusunan laporan keuangan dan proses audit. Ada hal mendasar
yang harus diperhatikannya sebagai wujud penerapan tata kelola perusahaan yang
baik (good corporate governance). Auditor eksternal yang dipercayai harus
benar-benar memiliki integritas serta prosesnya harus terlaksana berdasarkan
kaidah-kaidah yang telah diakui validitasnya, dalam hal ini PSAK dan SPAP.
Selain itu, auditor eksternal wajib melakukan komunikasi secara benar dengan
komite audit yang ada pada PT Kereta Api Indonesia guna membangun kesepahaman
(understanding) diantara seluruh unsur lembaga. Selanjutnya, soliditas
kelembagaan diharapkan tercipta sehingga mempermudah penerapan sistem
pengendalian manajemen di dalamnya. Secara tidak langsung, upaya ini menunjang
perwujudan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat luas sebagai
salah satu pengampu kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar